Seiring dengan waktu keceriaan semua ikrar yang tertancap memekarkan kuntum-kuntum kebahagiaan, keceriaan yang telah di raih tidak pernah di terima olah hati sang bumi, apakah karena sudah sifat manusia lupa jika bahagia ingat kala derita, pernahkah kita bercerita pada hati cinta bumi bahwa pertemuan tersebut telah berkembang dan menumbuhkan segala keindahaan dan kemesraan? Serasa tidak pernah, hati sang bumi hanya mampu melihat namun tidak dapat berbicara. Adakah sebuah pertemuan hubungan dua hati yang mampu menyaingi hati cinta bumi? Dapat memberi namun tidak harus menerima? Tidak, itulah keegoisan manusia dalam sebuah pertemuan.
Pertemuan semakin kepuncak dan mengkrucut menimbulkan nytanya konfrontasi-konfrontasu konflik kejenuhan akan kebersamaan, timbul angkara murka bahwa diri tidak sejalan dengan karakter jiwa ini, mengapa harus di katakan setelah berkembangnya kuntum-kuntum liar cinta? Apa karena kuntum-kuntum tersebut telah memberikan aroma pesona jiwanya, maka timbul kalimat demikian atau hanya ingin menunjukkan kalau keegoisan manusia hanya sebatas akal dan nafsu, atau ingin menunjukkan kepada hati cinta bumi bahwa akulah sang penakluk gairah alam? Semua itu bisa saja terjadi, itulah arti dari sebuah kemundurun retorika publik .
Apa yang terjadi pada pasangan hati yang telah dengan ihklas memberikan kuntum-kuntum terindah jiwanya? Beningnya butiran-butiran air kehidupan jatuh perlahan melintasi gurun berlapiskan tipis awan putih yang terus jatuh ke lubuk hati cinta bumi, setetes demi setetes terjalin menjadi satu kalimat yang memang kalimat tersebut telah terukir pada prasasti hati cinta bumi di saat pertemuan terjadi, pelampiasan pertama yang menghantam hati cinta bumi adalah dunia ini tidak fair buat asmaraku, buat asmaramu, buat asmara mereka, apa salah dengan pertemuan ini, semua hilang ikrar yang telah terucap dengan untaian tetesan penyesalan yang kian berakar pada relung jantung yang paling dalam, tubuh bergerak, darah dalam nadi memacu kencang, jantung bergetar deras syaraf memberikan komando“ dengan segera menghempaskan ke dua kaki ke hati cinta bumi, di injak, cacian, makian, upatan, hempasan kedongkolan, seluruhnya tertumpa ruah ke ruang hati cinta bumi, adakah ruang hati cinta bumi mengembalikan apa yang telah di lontarkan semua insan tersebut? Tidak semua di terima dan di tata dengan rapi, sebenarnya hati cinta bumi ingin sekali memeluk dan mendamaikan prahara hati kuntum yang telah terdampar pada dalamnya pertemuan, namun semua itu tidak dapat di lakukan hanya mampu berdiam dan menanti insan itu sendiri yang berdamai dengan menghabiskan labilnya perasaan dan emosionalnya yang tertuang dalam butiran halusnya embun air mata, ya memang demikian penawar kegoncangan hati adalah diam dan menerima semua keluh kesah kegundaan sang kuntum tersebut.
Kata murni yang tidak bernodahkan kebohongan adalah terinspirasi seluruhnya dalam ruang hati cinta sang bumi, sambil berbisik kepada kuntum yang sedang mengatasi prahara pertemuannya;
Alunan biola mengalun sendu……Menyelami jiwa dalam keraguan kasih hidup menikam laksana gemuruh……Menghampa rindu timbulkan malu dalam rintihan kalbu..!! Bisikan naluri tergantung hampa……Keheningan menekan duka lara……Menghias kalut cerminan nestapa……Bahtera alam menangis dalam pelukan asmara……
Samudera titik bernoda darah hitma……Mentari sinarkan segumpal amarah……Camar tersenyum indah berlari menghadang perasangka gelombang……Menuju peralahan persinggahan gulita malam, terhapus pada pelupuk mata penakluk jiwa……Cakrawala memutar derita senja……Pesona manja senja dinanti para nafas dahaga……Alunan pesona mati menelan asmara, asmara lari bersembunyi entah kemana……
Gerhana melintas awan meradang mendung…Burung malam menyanyikan sebuah kidung…tersayat hati tersandung jiwa….Cinta, rasa dan asmara membuat insane gila…Kerikil tajam bersandar lemah di pinggir samudera, samudera terisak karena lara…
1 comments:
Bagus sekali. Terima kasih telah berbagi kisah.
Salam kenal,
http://lexdepraxis.wordpress.com
Post a Comment